Ruminasi

Teman saya curhat hidupnya sering jadi tidak bahagia kalau ia melihat pencapaian teman-temannya. Ia sudah sering menghindar namun pikiran itu muncul lagi ketika ia lihat apa yang di posting teman-temannya di media sosial. Dia kerap membandingkan apa yang diraih masih jauh banget dari apa yang telah dicapai teman-temannya. Dari pelbagai macam sisi, popularitas, kekayaan, kesuksesan, dan berbagai pencapaian pencapaian lainnya. Istilahnya, insecure.  

Saya kira ini sudah bukan rahasia lagi. Pertama, tidak sedikit orang yang aktif di media sosial tujuannya memang ingin menunjukan pada orang lain apa yang telah ia capai. Saya tidak bohong, saya juga pernah terjebak pada siklus semacam itu. Saya ingin orang lain tahu apa yang sudah saya dapatkan, posisi saya ini ada di mana. 

Di satu sisi, ada orang yang seperti saya dan di sisi lain ada orang yang kena imbas dari apa yang saya lakukan, dia akhirnya insecure dengan hidupnya. Untuk memutus rantai hal semacam ini, kita tidak bisa juga melarang orang untuk “memamerkan” pencapaian mereka di media sosial. 

Yang paling mungkin adalah menanamkan kesadaran kepada orang semacam teman saya. Lalu apa yang bisa saya tanamkan? 

Dalam kajian psikologi ada istilah yang disebut dengan “ruminasi”, dimana orang cenderung terlalu lama “menjenguk” masa lalu. Ruminating is simply repetitively going over a thought or a problem without completion. Begitu kata Margaret Wehrenberg dalam web Psychology Today (2016). 

Tidak hanya masa lalu, orang yang mengalami ruminasi kerap memikirkan masalah yang sama, berulang-ulang membahas persoalan yang sedang dihadapi, tanpa bisa keluar dari masalah tersebut. Ruminasi seperti lingkaran setan.

 

Susan Nolen-Hoeksma dkk dalam jurnal berjudul Rethinking Rumination, menyebutkan bahwa fenomena ruminasi pada diri seseorang akan melalui tiga tahapan.  

Pertama, seseorang terus menerus memikirkan masa lalu yang menyakitkan (persoalan yang menyakitkan baginya) sehingga memunculkan perasaan tertekan. Kedua, menghalangi kemampuan untuk memecahkan masalah secara efektif, sehingga membuat seseorang berpikir pesimis dan fatalis. Ketiga, mengganggu perilaku seseorang hingga ke tahapan depresif.

Maka curhatan teman saya itu adalah sesuatu yang sangat serius. Jawabannya saya kira tidak sesederhana anjuran untuk bersyukur. Karena teman saya jelas sudah melakukannya tapi gagal. Bukan syukurnya yang gagal namun cara ia bersyukur harus diperbaiki. 

Maka demi teman saya itu, saya rela menempuh jalan lain yang berliku, saya sampaikan bahwa ia sedang mengalami proses ruminasi. Entah ia berada pada titik mana, hanya saja sudah benderang ia adalah ruminator. 

Dengan menjelaskan bagaimana kondisi, sebenarnya saya sedang berusaha untuk mendapatkan solusi dari dirinya sendiri, bukan dari orang lain termasuk dari saya. Karena ruminasi biasanya sering menyerang seseorang di kala sepi. Jadi penting bagi saya ia bisa menghalau gangguan itu seorang diri. 

Suasana kesepian, kurang kesibukan, membuat seseorang mudah mengalami pengulangan beban pikiran. Oleh karena itu, ruminasi menghalangi kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah secara efektif, ia jadi pesimis dan fatalis. Tidak ada jalan kembali dari ruminasi selain memotongnya.  

Jalan keluarnya adalah sadar dan mulai menyibukkan diri dengan berbagai macam aktivitas positif. Bergabung dengan komunitas salah satu solusi terbaik, tentu saja komunitas kebaikan yang saling menyemangati untuk berkarya, agar semakin positif dan produktif.

Dan menulis, expressive writing, journaling akhirnya akan menjadi habit positif. Kesibukan menulis membuat seseorang sibuk pula untuk membaca, belajar dan menemukan banyak ide tulisan. Dengan begitu, ruminasi perlahan bisa dihentikan.

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *