Teman saya bilang kalau “Humor itu sikap hidup.”
Seperti anda, sebenarnya saya juga kurang begitu paham dengan apa maksudnya. Lalu saya bertanya, teman saya menyambung lagi penjelasannya, “Humor itu tidak mesti lucu karena yang harus lucu itu komedi. Komedi menghibur, tapi humor, humor itu seharusnya bisa mencerahkan.”
Lho. Lho. Lho.
Ternyata humor dan komedi itu beda? Saya kira sama saja.
“Humor adalah sesuatu yang lucu. Bisa jadi keadaan, bisa jadi ucapan, bisa jadi juga orang.” Saya memikirkan ucapan teman saya itu. Saya jadi teringat pengalaman ketika saya memutuskan untuk mengambil rukhsoh membatalkan puasa dalam a. Biasanya tidak saya ambil, karena saya masih mampu melakukan perjalanan dalam keadaan puasa.
Klien yang saya kunjungi juga sedang berpuasa, jadi tidak ada alasan untuk membatalkannya. Tapi kali itu saya memutuskan untuk tidak puasa. Namun tidak biasanya, saya malah bangun kesiangan, hanya bisa minum pas pagi hari di hotel, tidak memungkinkan untuk sarapan karena mengejar pesawat takut ketinggalan.
Qodarullah pesawatnya delay. Tidak ada juga keinginan untuk makan atau minum, kok ya gak enak juga. Emang kalau sudah biasa puasa dan situasi di bulan ramadhan itu berbeda, bikin saya gak keinginan untuk makan apapun di bandara.
Daaan. Saya sampai di tempat tujuan jam 5 sore. Sesampainya di hotel baru saya kepikiran untuk cari makan karena lapaar. Pas makan, pas adzan maghrib. Luar biasa.
Benar juga kata teman saya, hari itu saya merasa kehidupan saya begitu penuh humor. Tapi saya tidak berniat untuk melucu. Kesadaran saya selepas menjalani hari itu yang bikin saya ketawa. Karena lucu aja buat apa saya gak puasa kalau saya gak makan apa-apa. Saya menertawakan diri sendiri. Ini menggelikan.
Tapi saya jadi bertanya-tanya, bertanya lebih dalam lagi alasan saya membatalkan puasa itu sebenarnya apa? Saya ketawa lagi. Merasa konyol sekali. Nah, mengingat kejadian itu, saya jadi paham perbedaan antara humor dan komedi.
Saya jadi paham, apa yang dimaksud oleh teman saya, bahwa humor itu sepatutnya bisa memberikan pencerahan. Saya jadi sadar, bahwa saya ini manusia, pasti melakukan kekeliruan. Dan ketika kita sudah bisa menertawakan itu artinya kita sudah mendapat pencerahan. Kita sudah mengambil hikmah dari kekeliruan yang kita lakukan. Saya jadi menganggap humor jadi sebuah sarana intelektual untuk mendapatkan perspektif baru dan mengatasi keadaan-keadaan yang ekstrem.
Saya menemukan humor itu bermanfaat untuk menjaga frekuensi hati itu agar tidak meledak-ledak. Menjaga frekuensi hati supaya tidak “kemrungsung” karena frekuensi humor itu berada di “stage” yang rileks dan damai.
Ini humor. Bukan komedi.