“Saya itu defensif. Egois. Dan sulit menerima feedback.”
Pada obrolan ringan dengan beberapa orang peserta, selepas mengisi seminar atau workshop, saya selalu membagikan sebuah pemahaman yang mengubah hidup saya secara keseluruhan, yakni ilmu mendengar.
Kita sering mendengar tapi apakah kita mendengarkan?
Setelah saya telusuri ternyata ada perbedaan antara mendengar dan mendengarkan. Mendengar dalam bahasa Inggris itu hear sedang mendengarkan padanan katanya adalah listen. Itu adalah dua aktivitas yang berbeda, tapi dianggap sebagai satu aktivitas yang sama. Pada kenyataannya, jelas berbeda.
Mendengar adalah aktivitas yang dilakukan secara tidak sadar oleh indra kita, sementara mendengarkan adalah aktivitas secara sadar yang menggabungkan pemahaman, empati, atensi dan emosi.
Mendengar itu pasif, artinya terjadi secara alami tanpa adanya upaya sadar dari kita. Misalnya kita mendengar suara hujan diluar jendela atau suara kucing bertengkar di jalan. Terjadi begitu saja.
Sedang, mendengarkan adalah proses aktif yang memerlukan usaha dan perhatian. Saat kita mendengarkan, kita tidak hanya mendengar suara di sekitar kita, tapi kita juga memperhatikannya dan mencoba memahaminya.
Mendengarkan membutuhkan perhatian khusus, kesadaran (conscious) yang disengaja, reaksi emosional, bahkan melibatkan indra tubuh lainnya dalam merespon. Sepertinya sederhana, tapi pada praktiknya itu tidak mudah. Oleh karena itu ilmu mendengar ini begitu efektif untuk melakukan self awareness.
Pepatah Jawa mengatakan “ngilo githoke dewe.” Diadopsi dari kata “ngilo” yang artinya bercermin, dan “githok” bagian belakang leher. Maksudnya, betapa banyak orang yang bisa melihat kesalahan orang lain tetapi tidak bisa dan bahkan tidak sadar akan kesalahannya sendiri.
Untuk bisa melihat “githok” atau leher bagian belakang, kita tidak mungkin melihatnya tanpa bantuan cermin atau bantuan orang lain.
Di sinilah pentingnya kita mendengarkan bukan mendengar belaka. Kemampuan mendengarkan itu memang sangat sulit karena diperlukan kerendahan-hatian menerima feedback dari orang lain.
Seni Mendengarkan
/1/
Mendengarkan itu penting. Walau tentu, tidak semua opini kita dengarkan. Kita harus memilah, memilih mana yang didengarkan mana yang hanya anda dengar.
Yang harus anda dengarkan adalah voice bukan noise. Ada yang menyebutkan kalau noise itu media sosial, sementara voice media massa.
Saya sendiri kurang sepakat jika noise itu media sosial karena belakangan saya baca, media massa malah jadi sumber noise juga. Saya rasa voice dan noise bukan sebatas tempat dimana disampaikan, melainkan sebuah karakter, karakteristik suara, atau dalam hal ini opini itu termasuk voice atau noise.
Saya kira netizen sekarang sudah semakin cerdas, dan media sosial sekarang tidak hanya berisi noise, melainkan juga voice. Begitu sebaliknya, berapa banyak media massa hanya menjadi “selubung voice” dan bukankah itu menjadikannya noise dalam skala besar?
Kemampuan memfilter, menyaring informasi menjadi sangat-sangat diperlukan. Claire Wardle, PhD and Hossein Derakhshan pada sebuah penelitiannya menyarankan setidaknya satu pertanyaan simple yang bisa kita ajukan untuk mengidentifikasi apakah opini itu termasuk noise atau voice?
Apa opini itu ada niat untuk menyakiti? Jika pertanyaan jawabannya adalah iya, maka sudah jelas noise. Jika tidak, maka anda bisa lanjut memahaminya.
Saya percaya kalau masih ada orang yang tulus memberikan umpan balik pada kita tanpa embel-embel apapun, simply he or she is kind. Saya percaya masih ada orang baik dan saya percaya akan kebaikan.
Dan jika anda menemukan orang yang menyampaikan voice, saya kira itu adalah adalah “rezeki” yang sangat berharga. Percayalah kita sangat sulit untuk mendapatkan “rezeki” itu, karena nyaris semua orang ingin naik panggung, bagaimana pun caranya. Apalagi anda sedang beruntung, memiliki segala-galanya.
Saya jadi teringat cerita Ali Bin Abi Thalib ketika ditanya, “Berapa banyak sahabat sejatimu?”
Jawab beliau, “Aku tidak tahu. Tunggulah nanti ketika Aku kesulitan mereka yang masih setia bersamaku, itulah sahabat sejatiku.”
Saya memahami bahwa sahabat sejati adalah voice. The Voice.
/2/

Sampai saat ini saya masih belajar dan terus belajar, bagaimana proses mendengarkan lebih saya cintai daripada berbicara.
Salah satu quote yang terus mengiringi proses itu adalah quote dari Dalai Lama, begini katanya, “Ketika kamu berbicara, kamu hanya akan mengulangi apa yang kamu ketahui. Tapi ketika mendengar, kamu mungkin akan belajar sesuatu yang baru.”
Banyak sekali teori tentang mendengarkan, dan rasa-rasanya tidak cukup seminggu untuk membahasnya. Tapi, teori hanyalah sebuah teori tanpa aplikasi pada kehidupan sehari-hari. Tak akan ada gunanya, tak akan ada perubahan signifikan. “Kebanyakan dari kita mendengar tapi tidak berniat untuk memahami.” Begitu kata Steven Covey, “Mereka mendengar hanya untuk menjawab.”
Jika begitu, maka telinga kita hanya berfungsi sebagai hear saja, bukan listen. Hanya mendengar bukan mendengarkan. Karena jika hanya untuk menjawab tak ada pemahaman lain selain membantah apa yang orang lain katakan.