Ironi. Tapi Inilah Hidup.

Kehidupan akan bertekuk lutut pada orang percaya bukan orang yang pandai berhitung. 

Di perjalanan pulang setelah kita sarapan, saya bertanya kepada sahabat saya, bagaimana caranya orang di perkotaan bisa membiayai hidup dengan penghasilan dibawah 1 juta per bulan, atau bahkan dengan penghasilan dibawah itu, misalnya 500 sampai 600 ribu per bulan. 

Dengan tawa kecil dia menjawab, “Ini bukan ilmu matematika atau akuntansi Ris, tapi tentang mindset.”

Ketika sahabat saya berkata mindset, sebenarnya saya sedikit ragu karena jawabannya terlalu klise, apa iya semua tentang mindset? Tapi saya tetap mendengarkan penjelasan sahabat saya itu. 

“Coba kamu hitung kira-kira biaya makan itu berapa? Anggap saja 1 orang sehari makan 3 kali dengan biaya 8000 sekali makan. Kalau anggota keluarganya 5 orang, jadi berapa? Sehari habis berapa? Sebulan habis berapa?”

Saya jawab untuk makan saja, 5 dikali 8 ribu sama dengan 40 ribu per hari. Artinya 1,2 juta per bulan. Nah enggak cukupkan? Kalau mau berhemat 5 ribu per sekali makan itu masih besar, 750 ribu per bulan. 

Sahabat saya ini lagi-lagi tertawa mendengar penjelasan saya. Lalu ia menjawab, “Sudah aku bilang ini tentang mindset. Mindset bagaimana orang belajar cukup dan bertahan hidup.”

Saya masih penasaran, “Oke coba sekarang kamu kasih aku contoh real-nya. Bukan sekedar konsep dan keyakinan bahwa Allah akan memberi rezeki.” 

Sahabat saya menatap saya serius, “Baik, pertanyaannya gini apakah orang harus makan 3 kali? Orang masih hidup bukan kalau makan 2 kali atau 1 kali sehari?”

“Terus, apa mesti pakai lauk pauk kalau makan? Mungkin bisa aja sekali makan pakai gorengan di pagi hari, berapa sih harga gorengan? Seribu rupiah, bisa dapat dua. Dan dengan keadaan kekurangan seperti itu, mereka masih bisa menyekolahkan anaknya.” 

Kalimat terakhir dari sahabat itu membuat saya tertegun. Saya serius menyimak sambil terbayang berapa pendapatan dan pengeluaran yang biasa saya keluarkan. 

Orang bisa hidup dan menyekolahkan anaknya dengan biaya yang sama persis dengan biaya yang saya keluarkan untuk anak saya di pesantren, atau lebih mengerikannya lagi, biaya sebulan untuk pajak kendaraan-kendaraan pribadi saja bisa membiayai belasan keluarga dalam sebulan. 

Ini ironi dan nampaknya saya harus menerima itu sebagai salah satu fakta kehidupan, bahwa ada orang yang mengeluarkan biaya untuk internet yang pada saat yang sama orang lain membutuhkannya untuk makan. Satu orang butuh jaringan internet untuk melanjutkan keberlangsungan hidupnya sementara orang lain tidak, mereka hanya butuh makan saja agar hidupnya bertahan. 

Namun tentu saja, kita tidak bisa menghakimi bahwa orang yang mengeluarkan biaya pajak kendaraannya sampai berjuta-juta itu salah. Kita tidak bisa menyalahkan kesuksesan satu orang hanya karena ada orang lain yang tidak sukses. Satu kehidupan adalah satu cerita dan tidak selamanya cerita dua kehidupan itu berkaitan.  

Pelajaran bagi kita semua, khusus untuk saya, kita harus terus menerus memupuk kesadaran tentang kata cukup sehingga tidak melulu membandingkan kondisi kita dengan kondisi orang lain. 

Dengan begitu, sepahit apapun atau sesempit apapun kondisi yang kita alami, kita akan tetap tergerak untuk membantu orang lain. Bukan malah sebaliknya, menumpuk kekayaan sementara orang lain, bisa jadi saudara kita, ada yang tenggelam dalam kekurangan. 

Semoga semua titipan kekayaan bisa semakin mendekatkan ketaatan kita kepada Allah sekaligus kepada sesama.  

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *