Blind Spot 

Seperti kita tidak bisa melihat telinga kita sendiri tanpa bantuan alat berupa cermin atau sejenisnya, seperti itulah diri kita sebenarnya. Kita semua punya blind spot. Sisi yang tidak bisa kita lihat.

Jika ada orang yang mengetahui dan menyadari blind spotnya, itu sebuah kesadaran yang sangat berharga. Karena sering kali yang terjadi adalah orang tidak menyadari sama sekali bahwa dirinya punya blind spot, bahkan tidak mau. Yang menyadari blind spotnya saja belum cukup, apalagi yang tidak.  

Di jalan, kalau anda cukup memperhatikan di belakang kendaraan-kendaraan besar pada truk tronton atau bis, selalu ada stiker blind spot. Maksudnya ketika anda bisa membaca stiker tersebut itu berarti anda tepat berada pada titik yang tidak terlihat oleh supir (blind spot), jika anda terus berada di sana, kecelakaan bisa saja terjadi, yang paling mungkin anda tersenggol. Karena mereka tidak mengetahui keberadaan anda. 

Blind spot itu teori dalam berkendaraan. Saya mengasumsikan kita manusia juga tak ubahnya kendaraan yang sedang melakukan perjalanan. Selalu ada orang-orang di sekitar kita yang mengiringi perjalanan; ada orang asing, ada yang sekedar lewat, ada orang yang kita kenal dan ada orang-orang yang bersama kita dalam melakukan perjalanan. 

Pada Cambridge Dictionary saya menemukan terjemahan menarik mengenai blind spot ini, a subject that you find very difficult to understand at all, sometimes because you are not willing to try:

Blind spot adalah satu hal yang tidak bisa dimengerti oleh anda karena anda tidak mau berusaha. Poin yang bagus. Karena kita tidak mau berusaha, atau bisa jadi karena kita belum menemukan blind spot tersebut? Dua urusan yang berbeda.  

Pada level dasar, breaktime bertujuan untuk menemukan titik blind spot yang kita miliki. Salah satu caranya adalah dengan merenung, berpikir, berartikulasi, berbicara dengan diri sendiri.

Dengan cara seperti itu, dengan perenungan-perenungan yang kita lakukan diharapkan kita akan mencapai satu titik pemahaman yakni, self awareness. Pemahaman mengenai diri.

Untuk mengetahui blind spot kita butuh orang lain, namun bukan sembarang orang, melainkan orang yang tepat. Bukan orang yang hanya memberikan noise melainkan voice. 

Jika selama ini kita bergaul dengan orang yang itu-itu saja dan masih merasa ada blind spot yang belum dikenali berarti maka anda perlu mencoba menemukan orang lain. Orang itu bisa jadi orang yang sama sekali tidak anda duga.  

Saya pribadi meyakini bahwa dengan breaktime berupa amaliah ibadah seperti menuntut ilmu, atau umroh, Allah akan menunjukkan orang yang tepat yang akan menemukan blind spot kita. Tidak harus orang hebat, tidak harus orang pandai, cerdas, kaya, populer. Tidak harus seperti itu. 

Bahkan, bisa jadi tidak harus orang, melainkan momen. Itu benar, momen berharga ini saya dapatkan ketika mendampingi mbah-mbah pada perjalanan umroh. 

Singkatnya beliau-beliau ini benar-benar mengajari saya secara langsung bagaimana menjadi orang yang lebih sabar, tepatnya orang yang lebih mau sabar mendengar.

Mendengarkan termasuk blind spot saya. Saya memang suka mendengarkan, tapi hanya orang-orang hebat, yang sudah terkenal, followernya ribuan. Prestasinya segunung. Orang kaya. Namun saya sering gagal mendengarkan ”suara orang lain”.

Orang lain yang paling dekat dengan kita adalah orang tua. Mendengarkan ucapan mereka yang berulang-ulang yang terkadang membosankan. Tapi kita abai terhadap suara mereka sebenarnya, suara di balik yang “membosankan.”  

Dengan keterbatasan wawasan dan informasi, bisa jadi orang tua kita hanya ingin ditemani, karena sadar waktu mereka sedikit, mereka sadar tidak akan tinggal selamanya di dunia ini. Mereka hanya ingin duduk ngobrol dengan anaknya, dengan anda. Seorang anak yang dulu ketika sakit mereka terjaga semalaman. 

Di mata mereka kita masih tetap anak-anak. Ya, sebagaimana kita melihat anak kita sendiri. Walau sudah kuliah, di mata kita, mereka tetap anak-anak. 

Dan bukankah ketika kita masih kecil, kita juga suka mengulang-ulang kata yang itu-itu saja? Apa bedanya kita sewaktu kecil dengan mereka yang sudah tua?

Bedanya mereka tidak seperti kita, mereka sabar mendengarkan. Karena mereka sayang pada kita anaknya. Nah apakah kita tidak sayang juga pada mereka? Orang tua yang membesarkan kita. 

Kita harus mulai belajar mendengarkan. 

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *